Hierarkinews, SOPPENG – Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Universitas Lamappapoleonro (Unipol) menegaskan pentingnya menjaga objektivitas dalam menyikapi isu-isu hukum dan administrasi negara. Hal ini disampaikan sebagai respons terhadap pernyataan Presidium KAHMI Soppeng, A. Akbar, yang mendesak pemerintah untuk segera mengevaluasi izin tinggal seorang warga negara asing, Douglas.
“Kami menghormati peran KAHMI sebagai majelis alumni. Namun, perlu ada sikap kritis terhadap langkah yang diambil, agar tidak mencampuradukkan peran organisasi dengan fungsi-fungsi negara,” ujar Sekretaris Umum HMI Komisariat Unipol, Muh Nur Akbar.
Jangan Tumpulkan Kewenangan Negara dengan Desakan Organisasi
Menurut HMI Unipol, desakan KAHMI kepada pemerintah untuk segera memeriksa dan menindak Douglas merupakan bentuk kepedulian yang bisa dimaklumi. Namun, penggunaan nama besar organisasi alumni seperti KAHMI untuk menekan institusi resmi negara—seperti Imigrasi, Kesbangpol, hingga TNI/Polri—perlu dikritisi.
“Persoalan Douglas adalah ranah murni Imigrasi. Mereka memiliki instrumen hukum, data visa, serta prosedur yang jelas. Yang dibutuhkan adalah dorongan agar instansi tersebut bekerja profesional, bukan tekanan publik dari organisasi,” tegas Akbar.
Ia juga mempertanyakan urgensi KAHMI dalam mendesak pemerintah. “Ketika organisasi massa mengambil alih isu hukum dan administratif, maka profesionalisme birokrasi bisa tercederai. Negara semestinya bertindak bukan karena tekanan eksternal, melainkan karena menjalankan amanat hukum,” imbuhnya.
Keresahan Subjektif Tidak Bisa Dijadikan Alasan Hukum
HMI Unipol menyoroti alasan KAHMI Soppeng yang menyatakan aktivitas Douglas menimbulkan keresahan. Akbar menilai, “keresahan” adalah aspek subjektif yang rawan digunakan untuk membenarkan tindakan tanpa dasar hukum yang kuat.
“Kami menuntut agar proses hukum mengedepankan objektivitas. Jika ada pelanggaran visa, seperti penyalahgunaan izin sosial budaya untuk bekerja atau riset tanpa izin resmi, maka itu cukup menjadi dasar. Namun jika tidak ada pelanggaran yang dapat diverifikasi, desakan deportasi justru bisa menjadi bentuk diskriminasi,” jelas Akbar.
Alumni Harus Fokus pada Kaderisasi, Bukan Kekuasaan
Dalam penutupannya, HMI Unipol mengajak KAHMI untuk kembali kepada peran historisnya: menjadi pendamping dan pembina kader, bukan menjadi ‘power broker’ yang tampil di ruang publik seolah lebih berwenang dari institusi negara.
“Penting bagi alumni untuk menjaga marwah organisasi, tidak menjadikan nama besar KAHMI sebagai alat tekanan politik atau kekuasaan. Kita harus membedakan antara fungsi advokasi moral dengan intervensi administratif,” pungkas Akbar.
HMI Komisariat Unipol menegaskan dukungannya terhadap penegakan hukum keimigrasian yang profesional dan sesuai prosedur. Namun, mereka menolak pendekatan yang mengedepankan tekanan organisasi dalam perkara yang seharusnya diserahkan kepada mekanisme hukum negara.
“Biarkan Imigrasi Soppeng bekerja secara profesional. Hentikan kebiasaan menjadikan KAHMI sebagai tameng atau alat tekanan dalam isu-isu hukum yang seharusnya berjalan sesuai prosedur negara,” tegas Akbar.