Hierarkinews, JAKARTA — Senayan kembali kehilangan satu suara muda. Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra, menyatakan mundur dari jabatannya, sebuah keputusan yang mengejutkan sekaligus menyisakan ruang refleksi atas dinamika politik kita hari ini.
Bagi Muh Fariz Zainal Islami, Ketua Umum HMI Cabang Maktim 2022-2023 sekaligus mahasiswa pascasarjana Universitas Indonesia, keputusan Saraswati bukan sekadar manuver politik personal. Ini adalah cermin dari betapa tidak nyamannya ruang demokrasi bagi mereka yang benar-benar ingin memperjuangkan kelompok marginal.
“Rahayu Saraswati bukan hanya anggota dewan. Ia adalah simbol dari generasi muda, perempuan, dan pejuang hak penyandang disabilitas. Ketika sosok seperti dia memilih mundur, kita perlu bertanya: apa yang salah dalam sistem kita?ada kah yang berucap lantang untuk hak anak muda?” ujar Fariz.
Bagi Fariz, politik semestinya menjadi ruang pengabdian—bukan jebakan opini publik atau tekanan elite yang kerap mempersempit langkah progresif. Saraswati, dalam catatan, telah banyak berkontribusi terhadap isu-isu yang kerap terabaikan: dari perlindungan anak, aksesibilitas bagi disabilitas, hingga pemberdayaan perempuan dan partisipasi generasi muda dalam ruang kebijakan.
“Ia membawa wacana-wacana yang jarang terdengar di ruang parlemen. Bukan sekadar duduk, tapi bertindak. Ketika suara seperti ini memudar, kita justru kehilangan denyut kemanusiaan dalam demokrasi,” tambah Fariz.
Menurutnya, kritik terhadap pernyataan Saraswati seharusnya tidak dipisahkan dari rekam jejak panjangnya dalam memperjuangkan keadilan sosial. Fariz menilai bahwa dalam ruang publik cara berpikir bersuara dengan konsisten dalam mengawal isu adalah pmebelajaran yang baik dari seorang saraswati.
Fraksi Gerindra memang menyatakan hormat atas keputusan tersebut, sambil menunggu proses internal. Namun bagi Fariz, ini menjadi pengingat bahwa partai politik belum sepenuhnya ramah terhadap kader-kader muda yang punya visi transformatif.
“Jabatan bisa hilang, tapi semangat tak boleh padam. Saya yakin Saraswati akan terus memperjuangkan hak-hak kelompok rentan—entah dari dalam sistem, atau di luar,” tegas Fariz.
Kini, publik harus jernih melihat ini bukan sebagai pengunduran diri biasa, tapi sebagai momen krusial untuk mengevaluasi wajah politik kita. Apakah kita masih punya ruang bagi idealisme? Ataukah justru kita perlahan mendorong pergi mereka yang datang dengan ketulusan?